Jakarta | economicnews.id – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh merupakan proyek strategis nasional yang groundbreaking pengerjaannya dimulai sejak 2016 saat Pemerintahan Presiden Jokowidodo dan resmi beroperasi pada Oktober 2023.
Menjadi kereta tercepat pertama Indonesia dan satu satunya di Asean, dengan nilai investasi proyek cukup mencenungkan, mencapai US$7,27 miliar atau setara Rp118,37 triliun dengan kurs Rp. 16.283 per dollar AS. Angka tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar.
KCJB digarap di bawah pengelolaan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Sebanyak 60% konsorsium itu dipegang oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan sisanya dimiliki konsorsium China Railway yang terdiri dari lima perusahaan.
PSBI terdiri dari PT Kereta Api Indonesia yang menguasai saham mayoritas sebesar 58,5%, disusul PT Wijaya Karya 33,4%, PT Jasa Marga 7,1%, dan PT Perkebunan Nusantara VIII sebesar 1,03%.
Dari total investasi tersebut, sekitar 75% dibiayai melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB).
Pada 2024, PSBI mencatat kerugian sekitar Rp4,2 triliun dan hingga saat ini masih terus berlanjut.
Per semester I-2025, kerugian itu tercatat senilai Rp1,63 triliun. Adapun nilai rugi bersih PSBI yang dikontribusikan ke KAI mencapai Rp951,5 miliar per Juni 2025.
PT KAI yang mempunyai saham mayoritas dalam konsorsium PSBI otomatis menanggung beban paling besar, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.
Sederhananya, sebagian besar kerugian proyek kereta cepat bakal ditambal oleh KAI. Dalam rapat dengar pendapat di DPR pada Agustus lalu, Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, mengatakan permasalahan utang KCIC menjadi “bom waktu” yang akan menggerogoti kinerja keuangan perseroan.
Untuk itu, KAI mengklaim telah berkoordinasi dengan Danantara terkait hal tersebut